Bulan April menjadi bulan yang penuh penantian dan bulan harap-harap cemas bagi seluruh Masyarakat Indonesia.
Di bulan April 2011 ini, bukan hanya di peringati sebagai hari Kartini tetapi yang tak kalah spektakuler adalah rencana datangnya Artis muda berbakat Justin Bieber ke Indonesia, dan konon menurut beberapa sumber media elektronik, tiket JB sudah habis terjual.
Sementara di Bulan yang sama, dan tanggal yang tidak jauh berbeda, sedang berlangsung Ujian Akhir Nasional (UAN) bagi siswa pelajar SMA dan SMP, hmmm.... sebuah fenomena yang seharusnya menjadi keprihatinan bangsa ini dan menjadi perhatian para event organizer yang lain untuk tidak membuat jadwal yang bersamaan dengan jadwal UAN, disaat generasi muda bangsa ini seharusya fokus mempersiapkan UAN namun ada segelintir pelaku bisnis siap meluluhlantahkan prestasinya demi menuhankan seorang JB. Pertempuran antara kebahagian sesaat dengan investasi masa depan sedang berlangsung. Mungkin akan berbeda jika di jadwalkan di bulan Juni atau Juli baangkali ya...., tapi sekali lagi apapun kondisinya bisnis harus tetap berjalan kan...? :)
Hei...hei... apa hubungannya ya topik kali ini dengan NLP? Ya... jika di lihat sepintas memang tidak ada hubungannya antara UAN, JB dan NLP. Yang menarik dan kemudian menjadi berhubungan adalah didalam NLP kita akan belajar mengenai perubahan prilaku seseorang. Perubahan yang dimaksud tidak hanya membahas tentang prilaku lahiriah saja, tetapi juga beberapa hal penting yang mendasari terjadinya perubahan prilaku tersebut. Perubahan bisa terjadi didalam tata nilai seseorang, bahkan perubahan bisa terjadi karena sesuatu hal yang meyakini dirinya yang tersimpan di pikiran bawah sadar bahkan tanpa disadari kita sadari. Representasi batin kita menjadi penentu prilaku dan bisa mempengaruhi kita pada tingkatan yang berbeda pula.
Menurut seorang Antropolog, Ilmuwan Sosial, Cyberneticist Gregory Bateson (1904-1980), yang kemudian diadaptasi oleh Robert Dilts dan mempopulerkan Neurological Level dalam salah satu materi di NLP mengatakan bahwa ada 6 tingkatan neurologis yang berhubungan satu sama lain di dalam setiap pemikiran manusia. Dimulai dari tingkatan terendah yaitu Lingkungan (environment). Kemudian Prilaku (Behaviour), Kemampuan (Capacity), Belief (Kepercayaan), Identitas (Identity) dan level tertinggi adalah Spiritualitas (Spirituality).
Ketika seseorang mempunyai pemikiran yang berbeda dan tidak kongruen satu dengan yang lain, yaitu perbuatan dan perkataan, maka akan dengan sangat mudah terjadinya konflik batin dalam dirinya (misalignment).
Bagi sebagian anak muda yang sedang menggandrungi JB sebagai superstar, mereka rela merogoh kantongnya lebih dalam demi mendapatkan 1 tiket masuk nonton JB, yang kalau ndak salah harga tiketnya mencapai 1juta rupiah. Sebuah harga yang sangat mahal untuk ukuran pelajar tentunya. Namun karena keinginan yang sangat besar tadi, maka mengeluarkan uang sebesar itu adalah kepuasan yang tak ternilai bagi mereka. Mereka rela memangkas habis-habisan jatah uang jajan agar bisa nabung demi seorang JB, Padahal kalau di tilik lebih lanjut, dari cara industri menciptakan market yangbertujuan merubah perilaku seseorang tersebut siapa yang paling di untungkan? Tentu saja mereka para pencipta pasar.
Alih-alih menciptakan sebuah hiburan bagi para remaja Indonesia dan layak di hargai mahal, padahal dengan disadari malah membuat para remaja kehilangan skala prioritas antara mempersiapkan diri menghadapi UAN dengan nonton JB. Ironis banget kan....?
Namun harus dikatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada yang salah ketika para remaja tadi berusaha untuk bisa nonton JB, selain kedatangannya tidak setiap saat, secara financial pun mereka mampu dan orang tua mendukung. Dan yang terpenting adalah tidak mengganggu konsentrasi mereka dalam menghadapi UAN.
Masih ingat dengan tulisan saya tentang The Map is Not The Territory? Apa yang saya tuliskan disini adalah sebuah perspektif, lesson learnnya adalah jika nonton JB berbanding lurus dengan hasil UAN, kenapa tidak? Toh bisa dianggap sebagai apresiasi atas kerja keras mereka mempersiapkan UAN.
Selanjtnya secara bertahap, kita akan mengenali apa-apa saja yang menyebabkan seseorang bisa merubah prilakunya karena sesuatu. Dari tulisan awal ini, mudah-mudahan bisa menjadi pembuka awal dalam mempelajari dan mengenali Neuro-Logical Level seseorang, sehingga ketika kita menginginan adanya perubahan prilaku dari seseorang, kita sudah memahami serta mengenali orang tersebut sedang berada di level mana dan dengan cara apa kita merubahnya.
khusus NLL kita bahas lebih detail di tulisan berikutnya....
Selasa, 08 Maret 2011
Senin, 07 Maret 2011
People Are Always Making The Best Choice They Have
![]() |
Salah satu presuposisi yang menjadi favorit saya di selama belajar NLP adalah, People Are Always Making The Best Choice They Havesetiap orang selalu membuat keputusan yang terbaik menurutnya saat itu. Ahaaa...., pasti sedang mengingat-ingat ya, sudah membuat keputusan terbaik apa saat itu hayyyoooo...:)
Contoh, saya menemukan seorang anak siswa SMA dari keluarga berada yang sudah mulai enggan datang ke sekolah sampai kemudian anak itu total tidak mau sekolah lagi. Pertanyaannya adalah, salah kah anak itu? Jawabnya tentu saja tidak, meskipun seluruh dunia memakinya ketika dia sudah membuat keputusan untuk tidak lagi bersekolah, maka saat itu keputusan tersebut adalah benar menurutnya. Jika di kemudian hari timbul penyesalan atau tidak, hal tersebut merupakan konsekwensi dari sebuah keputusan.
Masih ingat tentang The Map is Not The Territory? Ketika peta internal anak ini adalah sekolah sebagai bagian yang memberatkan dalam hidupnya atau anak ini sudah tidak memiliki semangat belajar lagi hingga kemudian berani mengambil resiko berhenti sekolah, itu merupakan bagian dari minimnya pemahaman atau peta internal anak ini tentang output dari sekolah sangat sedikit atau kecil.
Jumat, 04 Maret 2011
The Map is Not Territory
Dalam sebuah pelatihan, ada seorang peserta yang menceritakan kepada saya tentang perasaannya yang merasa seperti hidup sendiri, di saat banyak masalah semua orang terdekatnya justru malah menjauh.
Sebuah cerita yang menarik menurut saya, dan cerita seperti ini tentunya tidak hanya dirasakan oleh orang tersebut. Saya yakin di luar sana juga banyak orang yang akan berkomentar seperti itu disaat sedang sendiri dan mengalami masalah. Didalam NLP (Neuro-Linguistic Programming) kita akan belajar tentang struktur dan konten. Dan melalui tulisan ini secara bertahap kita akan mendiskusikan bagaimana cara membedakan struktur dan konten ini, sehingga memudahkan bagi kita dalam menganalisa sekaligus menyikapi berbagai hal yang mungkin mengganggu pikiran kita dalam keseharian.
Salah satu presuposisi (pra-anggapan) dalam NLP adalah The Map is not the Territory. Peta bukanlah wilayah sesungguhnya. Kembali kepada cerita diatas, apa yang di katakan oleh peserta tersebut telah menginformasikan kepada kita bahwa seolah-olah dia hidup sendiri, seolah-olah hanya dia yang punya masalah, seolah-olah semua orang tidak perduli dengan dirinya terbukti dia merasa semua orang menjauh dari kehidupannya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah benar dia hidup sendiri, apakah benar hanya dia yang punya masalah, apakah benar semua orang menjauh. Apakah ini adalah persepsinya yang sesuai dengan realita sesungguhnya atau ini adalah caranya menterjemahkan sebuah realita yang justru bukan sesungguhnya?
Ahaa...! sepertinya sekarang anda sudah mulai bisa mengenali perbedaannya. Benar sekali, apa yang di katakan nya hanyalah sebuah persepsi yang bukan realita sesungguhnya. Dalam mengelola informasi yang datang dari luar, seseorang dapat menterjemahkan di pikirannya dengan caranya masing-masing.
Keterbatasannya dalam memahami sebuah peristiwa membuat seseorang jadi mudah membuat sebuah kesimpulan yang tidak tepat, dikatakan tidak tepat karena kesimpulan itu sudah di generalisasi, dihilangkan dan dihapus dari peristiwa yang sesungguhnya.
Keterbatasan mengelola sebuah informasi inilah yang menyebabkan seseorang kemudian menjadi berdaya atau bahkan tidak berdaya. Jika di hubungkan pada cerita di atas, karena keterbatasannya tersebut ia menjadi tidak berdaya dalam mengelola emosinya sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa ia sendiri menghadapi masalah. Woooww.... ternyata mengelola informasi yang datang dari luar secara tidak tepat mampu merubah prilaku seseorang, luar biasa banget ya?!!
Ok, sekarang kita bisa mulai melanjutkan membicarakan tentang bagaimana mengelola struktur dan konten secara tepat. masih mengambil contoh cerita di atas, Bahwa dia punya masalah, itu adalah benar dan tidak bisa di hilangkan atau di hapus. Contoh detail, seorang anak tinggal kelas. Kenyataan bahwa anak itu tidak naik kelas adalah benar dan tidak bisa dirubah atau di hapus, kenyataan anak itu tidak naik kelas adalah konten atau isi. Lalu bagaimana cara kita menerjemahkan adalah struktur atau bungkusnya atau kemasannya.
Kita mungkin sering membeli obat batuk, membaca komposisi atau isinya dan fungsinya adalah sama sebagai pereda batuk, tapi merek dan kemasannya hampir bisa dipastikan berbeda-beda.
Merubah struktur dengan mengambil hikmah positif dari anak yang tidak naik kelas adalah memberikan pengertian kepada anak dan orang tua bahwa masih ada kesempatan memperdalam beberapa mata pelajaran yang tertinggal, meningkatkan komunikasi yang kurang lancar, kehilangan waktu 1 tahun lebih baik dibandingkan kehilangan kesempatan berkomunikasi yang sehat di dalam keluarga.
Ok, kembali ke presuposisi The Map is Not The Territory ini, sekarang anda pasti sudah lebih memahami perbedaannya. Mengambil makna positif dari sebuah peristiwa adalah sebuah proses internal control yang memberdayakan diri sendiri. Sementara mengambil sikap merasa sendiri dan marah-marah yang tidak karuan ke anak bahkan sibuk mencari-cari kesalahan, adalah sebuah internal control yang justru membat seseorang menjadi tidak berdaya.
Sebuah cerita yang menarik menurut saya, dan cerita seperti ini tentunya tidak hanya dirasakan oleh orang tersebut. Saya yakin di luar sana juga banyak orang yang akan berkomentar seperti itu disaat sedang sendiri dan mengalami masalah. Didalam NLP (Neuro-Linguistic Programming) kita akan belajar tentang struktur dan konten. Dan melalui tulisan ini secara bertahap kita akan mendiskusikan bagaimana cara membedakan struktur dan konten ini, sehingga memudahkan bagi kita dalam menganalisa sekaligus menyikapi berbagai hal yang mungkin mengganggu pikiran kita dalam keseharian.
Salah satu presuposisi (pra-anggapan) dalam NLP adalah The Map is not the Territory. Peta bukanlah wilayah sesungguhnya. Kembali kepada cerita diatas, apa yang di katakan oleh peserta tersebut telah menginformasikan kepada kita bahwa seolah-olah dia hidup sendiri, seolah-olah hanya dia yang punya masalah, seolah-olah semua orang tidak perduli dengan dirinya terbukti dia merasa semua orang menjauh dari kehidupannya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah benar dia hidup sendiri, apakah benar hanya dia yang punya masalah, apakah benar semua orang menjauh. Apakah ini adalah persepsinya yang sesuai dengan realita sesungguhnya atau ini adalah caranya menterjemahkan sebuah realita yang justru bukan sesungguhnya?
Ahaa...! sepertinya sekarang anda sudah mulai bisa mengenali perbedaannya. Benar sekali, apa yang di katakan nya hanyalah sebuah persepsi yang bukan realita sesungguhnya. Dalam mengelola informasi yang datang dari luar, seseorang dapat menterjemahkan di pikirannya dengan caranya masing-masing.
Keterbatasannya dalam memahami sebuah peristiwa membuat seseorang jadi mudah membuat sebuah kesimpulan yang tidak tepat, dikatakan tidak tepat karena kesimpulan itu sudah di generalisasi, dihilangkan dan dihapus dari peristiwa yang sesungguhnya.
Keterbatasan mengelola sebuah informasi inilah yang menyebabkan seseorang kemudian menjadi berdaya atau bahkan tidak berdaya. Jika di hubungkan pada cerita di atas, karena keterbatasannya tersebut ia menjadi tidak berdaya dalam mengelola emosinya sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa ia sendiri menghadapi masalah. Woooww.... ternyata mengelola informasi yang datang dari luar secara tidak tepat mampu merubah prilaku seseorang, luar biasa banget ya?!!
Ok, sekarang kita bisa mulai melanjutkan membicarakan tentang bagaimana mengelola struktur dan konten secara tepat. masih mengambil contoh cerita di atas, Bahwa dia punya masalah, itu adalah benar dan tidak bisa di hilangkan atau di hapus. Contoh detail, seorang anak tinggal kelas. Kenyataan bahwa anak itu tidak naik kelas adalah benar dan tidak bisa dirubah atau di hapus, kenyataan anak itu tidak naik kelas adalah konten atau isi. Lalu bagaimana cara kita menerjemahkan adalah struktur atau bungkusnya atau kemasannya.
Kita mungkin sering membeli obat batuk, membaca komposisi atau isinya dan fungsinya adalah sama sebagai pereda batuk, tapi merek dan kemasannya hampir bisa dipastikan berbeda-beda.
Merubah struktur dengan mengambil hikmah positif dari anak yang tidak naik kelas adalah memberikan pengertian kepada anak dan orang tua bahwa masih ada kesempatan memperdalam beberapa mata pelajaran yang tertinggal, meningkatkan komunikasi yang kurang lancar, kehilangan waktu 1 tahun lebih baik dibandingkan kehilangan kesempatan berkomunikasi yang sehat di dalam keluarga.
Ok, kembali ke presuposisi The Map is Not The Territory ini, sekarang anda pasti sudah lebih memahami perbedaannya. Mengambil makna positif dari sebuah peristiwa adalah sebuah proses internal control yang memberdayakan diri sendiri. Sementara mengambil sikap merasa sendiri dan marah-marah yang tidak karuan ke anak bahkan sibuk mencari-cari kesalahan, adalah sebuah internal control yang justru membat seseorang menjadi tidak berdaya.
Langganan:
Postingan (Atom)